TANGSEL, Spot19 – Menjadi orang yang dipercaya adalah hal yang tidak mudah, apalagi dipercaya oleh seorang pemimpin. Tentu ada kriteria tertentu, seperti kejujuran dan keberanian mengatakan yang benar itu benar dan salah itu salah. Adalah Syuraih al-Qadhi yang memiliki kelebihan ini. Syuraih bin al-Harits al-Qadhi lahir tahun 593 M dan meninggal dunia tahun 697 M/ 78 H.
Baca juga: Pandangan Islam Terhadap Konsep Childfree Dalam Berumah Tangga
Beliau adalah seorang qadhi, ahli fiqih, periwayat hadits, serta tabi’in dari Hadhramaut. Beliau masuk Islam di Hadhramaut pada zaman Rasulullah dan pindah dari Hadhramaut pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Suatu hari Khalifah Umar bin Khattab membeli seekor kuda dari seorang Arab Baduwi. Saat dibeli, kuda tersebut sehat dan tidak ada masalah.
Baca juga: Kaligrafi dari Sukabumi Menjelajah Pelosok Negeri
Namun ditengah perjalanan, tiba-tiba kuda ini tidak mau berlari. Seketika itu, khalifah mengembalikannya kepada si Arab Baduwi karena dianggap cacat. Namun, si Arab Baduwi bersikeras kuda yang dijualnya dalam kondisi baik. Maka, untuk memutuskan perkara ini, Khalifah Umar mengajak si Arab Baduwi untuk bertemu dengan seorang hakim. Mereka mendatangi Syuraih bin al-Harits al-Kindi. Mereka akhirnya menceritakan permasalahan mereka.
Setelah mendengarkan cerita keduanya, Syuraih menoleh kepada Khalifah Umar sambil bertanya, “Apa Anda mengambil kuda darinya dalam keadaan baik?”. Sang khalifah pun menjawab, “Benar.” “Ambillah yang telah Anda beli wahai Amirul Mukminin, atau kembalikan kuda tersebut dalam keadaan baik seperti saat Anda membelinya,” jelas Syuraih kepada khalifah dengan tegas dan berani.
Mendengar keputusan Syuraih ini, Khalifah Umar menatap Syuraih dengan tajam dan takjub. “Hanya beginikah pengadilan ini? Kalimat yang singkat dan hukum yang adil”. Berangkatlah segera ke Kufah, karena Aku akan mengangkatmu menjadi qadhi disana.
Sejak saat itu Syuraih al Qadhi menjadi hakim andalan yang dipercaya. Tidak hanya di zaman Khalifah Umar bin Khattab, tetapi juga di zaman Khalifah Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Muawiyah serta khalifah setelah Muawiyah. Syuraih menjadi qadhi selama kurang lebih 60 tahun. Ada juga riwayat ketegasan Syuraih al Qadhi terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib. Saat kehilangan baju perang kesayangannya, Khalifah Ali melihat baju itu berada di tangan seorang kafir dzimmi yang berjualan di pasar Kufah.
Khalifah Ali menghampirinya dan berkata,”Ini adalah milikku yang terjatuh dari untaku pada malam itu.”. Hal ini dibantah keras oleh kafir dzimmi. Mereka pun pergi menemui Syuraih al-Qadhi. Setelah mendengar cerita keduanya, Syuraih meminta Amirul Mukminin untuk mendatangkan saksi. Ketika akan mendatangkan pembantunya Qanbar dan putranya Hasan, Syuraih al-Qadhi menolak karena saksi anak kepada orang tua tak dapat diterima.
Khalifah Ali akhirnya merelakan baju perangnya karena ia tidak bisa menghadirkan saksi. Mendengar keputusan sang Hakim dan sikap Khalifah, orang dzimmi itu kemudian mengakui bahwa baju perang itu benar milik sang Khalifah. Tak hanya itu, sang kafir dzimmi akhirnya bersyahadat di depan sang hakim dan khalifah.
Untuk itu, ia mendapatkan hadiah berupa baju perang dan seekor kuda milik sang khalifah. Demikianlah ketegasan, keberanian, dan kejujuran sang hakim yang mampu menjadi cahaya bagi orang-orang disekitarnya. Tokoh tabi’in Syuraih al-Qadhi wafat di usia 170 tahun. Para ulama dan orang-orang di zaman itu bersedih lantaran kehilangan hakim yang bijak, dan tidak pandang bulu dalam menegakkan keadilan.
**Disadur dari Majalah Gontor Edisi 07 Tahun XIX
Editor: Ed Ward